JAKARTA — Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Di tengah berbagai cara untuk merayakan warisan Kartini, industri perfilman Indonesia turut mengambil peran dalam merepresentasikan sosok Kartini dari masa ke masa.
Melalui lensa film, pencinta film dapat menelusuri kembali jejak pemikiran revolusioner dan dedikasi Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan dan pendidikan bagi kaum perempuan. Setidaknya ada tiga film yang menonjol dalam menggambarkan perjalanan Kartini yakni R.A. Kartini (1982), Surat Cinta untuk Kartini (2016), dan Kartini (2017). Ketiganya menawarkan interpretasi unik tentang kehidupan dan cita-cita Kartini, menjadi relevan untuk ditonton dan direfleksikan, terutama dalam konteks peringatan Hari Kartini.
1. R.A. Kartini (1982)
Film yang dirilis pada 1982 ini disutradarai oleh Sjuman Djaja, seorang sutradara legendaris Indonesia yang dikenal dengan karya-karyanya yang kuat dan berani. Film ini dibintangi oleh Yenny Rachman, seorang aktris senior yang memerankan sosok Kartini dengan karisma dan keteguhan yang memukau.
Selain Yenny Rachman, film ini juga didukung oleh aktor-aktor ternama lainnya seperti Slamet Rahardjo, Nani Widjaja, dan Rachmat Hidayat. Secara garis besar, film Kartini (1982) menyajikan biografi Kartini secara kronologis, mulai dari masa kecilnya yang penuh dengan pembatasan adat, semangatnya untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan kaum pria, hingga perjuangannya mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan di Jepara.
Film ini menyoroti bagaimana Kartini, dengan dukungan dari beberapa pihak yang progresif, berani mendobrak tradisi yang mengekang dan mengadvokasi pentingnya pendidikan bagi perempuan sebagai kunci kemajuan bangsa. Film ini juga menggambarkan korespondensi Kartini dengan sahabat penanya di Belanda, yang menjadi wadah bagi pemikiran-pemikiran revolusionernya tentang feminisme, pendidikan, dan keadilan sosial. Kartini (1982) menjadi representasi awal yang kuat tentang perjuangan Kartini di layar lebar, memberikan pemahaman yang komprehensif tentang konteks sosial budaya pada masanya serta keberaniannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
2. Surat Cinta untuk Kartini (2016)
Film yang disutradarai Azhar Kinoi Lubis ini menawarkan pendekatan yang berbeda dalam menggambarkan sosok Kartini. Alih-alih fokus pada biografi secara langsung, film ini menghadirkan sebuah fiksi romantis yang berlatar belakang kehidupan Kartini. Aktris Rania Putri Sari memerankan Kartini, didampingi oleh aktor Chicco Jerikho yang berperan sebagai Sarwadi, seorang tukang pos yang menjadi tokoh fiksi dalam cerita ini.
Plot film Surat Cinta untuk Kartini berkisah tentang Sarwadi, seorang pemuda idealis yang bekerja sebagai pengantar pos di Jepara pada masa Kartini. Sarwadi secara tidak sengaja terlibat dalam korespondensi Kartini dengan sahabat-sahabatnya di Belanda.
Melalui surat-surat tersebut, Sarwadi mulai memahami pemikiran-pemikiran Kartini tentang emansipasi wanita dan kesetaraan. Meskipun menghadirkan elemen fiksi yang signifikan, Surat Cinta untuk Kartini tetap berusaha untuk menangkap semangat dan cita-cita Kartini melalui sudut pandang karakter Sarwadi. Film ini mencoba untuk menjangkau audiens yang lebih luas dengan menyajikan kisah perjuangan Kartini dalam balutan romansa yang menarik, sekaligus memperkenalkan pemikiran-pemikiran Kartini kepada generasi muda dengan cara yang lebih relatable.
3. Kartini (2017)
Setahun berselang, muncul film Kartini yang kembali mengusung pendekatan biografi, disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film ini menampilkan Dian Sastrowardoyo sebagai Kartini, sebuah pilihan pemeran yang banyak dipuji karena kemiripan dan kemampuannya menghidupkan sosok Kartini dengan kuat. Film ini juga didukung oleh jajaran aktor dan aktris papan atas Indonesia lainnya seperti Acha Septriasa, Ayushita, Adinia Wirasti yang berperan sebagai saudara-saudara Kartini, serta Deddy Sutomo dan Christine Hakim.
Film Kartini (2017) berfokus pada periode kehidupan Kartini yang lebih spesifik, yaitu perjuangannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat Jawa pada awal abad ke-20. Film ini menyoroti tekanan adat dan tradisi yang membatasi gerak perempuan, termasuk praktik pingitan dan perjodohan. Namun, film ini juga menggambarkan semangat Kartini yang tak pernah padam untuk memperjuangkan hak pendidikan bagi dirinya dan perempuan lainnya.
Melalui surat-suratnya dan interaksinya dengan orang-orang di sekitarnya, film ini mengeksplorasi pemikiran-pemikiran Kartini yang progresif tentang kesetaraan gender, pentingnya pendidikan, dan modernitas. Kartini (2017) berusaha untuk memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang pergolakan batin Kartini, tantangan yang dihadapinya dari lingkungan sekitar, serta bagaimana ia menginspirasi orang-orang di sekitarnya untuk mendukung visinya. Film ini juga menyoroti peran penting saudara-saudara Kartini dalam mendukung perjuangannya. (Redaksi)